Manusia dan Pencintanya

Table of Contents

 
Manusia dan Pencintanya

01 Januari  2006  Pukul 10.16.45

Sebuah mobil carry melaju dengan kecepatan  80 km/jam dari arah kota. Dengan  mesin dan cat  yang masih  berkilat  melintasi jalan – jalan  yang tidak terlalu  ramai. Cuaca baru bangkit cerah setelah beberapa lama dinaungi mendung dan hujan. Sinar matahari membidik  genangan air  disetiap  sudut. Pohon – pohon, jalan – jalan masih terlihat  mengkilat terkena air. Jalan raya  yang  membawa mobil carry  melaju di atasnya  terasa sangat  licin. Perlu hati – hati  untuk mengendarainya. Kaca mobil  sesekali  terlihat  buram karena  tertutup  embun  yang menempel. Butiran – butiran embun masih  membawa rasa dingin membuat  sang sopir  diharuskan  merokok. Tidak ada orang  lain dalam mobil itu hanya sopir  seorang.

Sebuah becak  melaju  pelan di depannya  dengan  muatan. Bukan manusia  tapi  sayur – sayuran yang hendak dibawa  ke pasar. Penarik becak yang kuat. Otot – otot kakinya  terlihat sangat jelas. Dia  megayuh  dengan segenap tenaga.  Becak berada 200 meter  satu arah  dari mobil carry yang mengkilat bagus. Tiba – tiba  becak itu  berbelok ke kanan dengan cepat tanpa aba – aba.

Mobil pun terus melaju. Sekilas  terlihat becak membelok. Diinjaknya rem kuat – kuat. Terdengar benturan kuat di depan. Sekilas  terlihat becak. Karena licin mobil pun terus bergerak. Bahkan  berubah haluan 45 derajat ke arah kiri. Tanpa sadar  sopir pun  marah tak karuan. Semua ucapannya adalah kata – kata sumpah – serapah. Marah, tegang, kacau, ruwet berbaur  dalam  dada sopir. Beberapa  detik terdiam. Mengatur napasnya yang tersengal – sengal. Sopir keluar  dari mobil. Mencari  nasib becak dan penarik becak. Bagian becak  sebelah kanan ringsek. Sayur – sayuran luluh – lantah.  Nasib penarik becak terebah tak berdaya. Kepala  penuh guratan  merah  keringat darah. Hidung, telinga, mulut meneteskan  tetesan darah. Tepat di tengah jalan, penarik becak  menghembuskan napas terakhirnya.

Sang sopir berbadan gemuk, berkulit putih, dan tidak terlalu tinggi panik melihat kejadian tersebut. Dilihat tidak ada orang di sekelilingnya. Mukanya menyimpan  rasa kesal, takut, kasihan, dan amarah. Sorot matanya  coba terbelalak namun terhalangi  bentuk matanya  yang sipit. Matanya menatap ke arah mobil. Bagian depan  penyok terkelupas cat mobilnya. Badan gemuk dibalut kaos oblong dan celana pendek mulai panik yang sangat hebat. Sopir masuk kembali  ke dalam mobil. Sekeras mungkin  ia menyalakan mesin mobil – dengan tangan  dan jemari  gemetaran – melaju  meninggalkan  penarik becak. Tidak kenal licin, tidak kenal  kaca buram  melaju  dengan kecepatan 100 km/jam. Di jarak 500 meter kemudia  terdengar  lagi benturan kuat  di depan mobil carry. Sebuah gerobak bakso dorong hacur luluh - lantah di pinggir jalan. Mobil carry pun kembali  ngepot. Hampir 70 derajat  di badan jalan. Sumpah serapah penjual bakso  di balas sumpah serapah  sopir carry. Warga sekitar  langsung berhamburan  keluar. Penjual bakso  menuntut sopir carry untuk mengganti. Sang sopir melawan dengan  bualan  yang tidak kalah hebatnya. Polisi dan pasal – pasal  dilontarkan. Karena kesal  penjual bakso memukul sopir. Pertarungan seimbang terjadi  dalam empat detik, lima detik  dan seterusnya  pertarungan tidak seimbang. Sopir  melawan puluhan  warga yang  melihat. Bukan  hanya pukulan tangan tapi kayu,  batu, dan besi  ikut mampir ketubuh gemuk sopir. Satu menit lebih berlalu. Tubuh sopir  terkapar seperti binatang. Penuh  darah dan  lebab, namun tidak ada yang mau menyentuh hanya di keliling menjadi tontonan. Kepalanya  hampir  pecah berlumuran darah kental merah tua. Sopir terkapar  tak berdaya  menghembuskan napas terakhir.

01 Januari 2006     Pukul 10.16.45

Seorang anak kecil  berbaju  kaos, celana pendek tengah asyik  bermain kelereng bersama lima orang temannya. Kelerengpun ia ambil dan ia sentil sampai mengenai  kelereng temannya. Kelerengpun beradu  dan saling menjauh. Si kecil  itu pun mulai membidik  kelereng yang dianggapnya dekat. Belum sampai ia melepaskan sentilannya, ia berubah pkiran karena merasa tidak  akan kena. Kelereng kini ia bidik ke lubang yang berada dua jengkal  telapak tangan  dari kelerengnya. Dibidiknya  dan masuk. Kelereng ia ambil  kembali  untuk disentil. Tidak  jauh dan tidak ia  bidikan ke kelereng temannya. Hanya  lima senti dari lubang   kelereng ia posisikan. Seorang temannya  mulai membidik kelereng si bocak kecil. Ia mulai menjeplak  kelerengnya. Anak kecil tadi memiliki keyakinan kuat kelerengnya tidak mungkin  kena. Kelerengpun melesat dan beradu dengan kelereng si anak kecil. Anak kecil diam dan terbelalak, “Mati kamu Man. Kena kamu. Minggir kamu sudah mati Man.” Teriak seorang teman.

Hangat, tegang, gembira, bersahabat, rasa yang mereka miliki. Meski hanya bermain  di tanah lapang yang tidak  terlalu lebar dan sedikit becek. Tanah lapang  yang di kanan – kiri, depan – belakang rumah bata dan  tembok geribig  yang sederhana. Bukan keramik  tapi  gundukkan tanah  di setiap lantai rumah. Terasa  keteduhan karena masih ada pepohonan.

01 Januari 2006   Pukul 10.16.45

Seorang anak kecil berambut agak berdiri, badan agak gemuk, muka agak bulat asyik berteriak – teriak dengan seorang temannya. Tegang, kadang gembira, kesal, jeritan histeris, caci – maki menghinggapi ruangan  cukup lebar tapi tidak terlalu lebar. Ruanagan  yang merupakan  bagian dari rumah yang berbentuk persegi panjang. Dari depan kita akan melihat sebuah kios  yang di kanan – kiri terhapit oleh kios – kios yang lain. Kios ini persis garasi mobil. Bila berjalan  lurus  ke dalam  kios. Terdapat  ruangan  yang berisi meja, kursi, pas bunga, poto – poto, almari dengan perabotan  yang sangat menarik.  Harga perabotan  mungkin agak sedikit mahal. Ruang cukup lebar tapi tidak terlalu lebar. Menelusur lagi ke belakang terdapat  sekatan – sekatan ruang tidur yang menghadap ke samping. Ada jalan  kecil  yang dapat kita lewati. Sambil  lewat  dapat dhitung tiga pintu. Berarti  ada tiga kamar: dua kamar  tidur dan satu kamar mandi. Menelusur ke belakang sebuah ruanagan  tanpa pintu yaitu dapur dan meja  makan. Menelusur  lagi sebuah  pintu belakang  yang disambung garasi mobil.

Berada dihiruk  pikuk  tengah – tengah kota. Desingan  suara kendaraan, laju kesibukan orang – orang, sering hinggap di pelataran kios. Kios plus rumah persis gerbong kereta api. Di depan kios  jalan raya  dan di depan garasi jalan raya. Bising, polusi, panas, kering seakan  menjadi  mata rantai  kehidupan. Tapi  kebisingan  anak kecil dan temannya tidak kalah  dengan kebisingan  di luar sana.

Dua orang bocah  tengah khusuk  dan konsentrasi tinggi memandangi televisi. Sebuah benda  yang dihubungkan  kabel  berada di bawah televisi. Dua kabel terjulur dari depan benda itu. Kedua bocah itupun  memegang kabel   yang dilengkapi  benggolan mirip remote control. Masing – masing  mereka  asyik  mengotak – atik  tampilan gambar animasi  di layar televisi yang sedang memainkan  kejuaraan bola sepak

01 Januari 2006    Pukul 10.32.02

Sebuah rumah yang sederhana  dengan balai bambu di depannya. Rumah yang mungil  namun mengesankan  ketidakmampuan pemiliknya. Ada kursi dan meja di ruang tamu, namun tidak ada  televisi dan barang elektronik  lainnya selain radio. Alunan  lagu yang  dihembuskan radio kini berubah dengan datangnya siaran berita. Sang kakek dan nenek berada di atas balai bambu di depan rumah.

Pagi itu hening menyelimuti mereka. Anak – anak sudah hampir  berkeluarga semua, hanya satu  yang tertinggal. Anak terakhir  yang belum juga menikah. Ia sengaja tidak meinggalkan  kedua orangtuanya. Kakak – kakaknya yang lain  sudah berpencar  meniti kehidupan sendiri. Meski  bersama orangtua  ia tetap mencari  makan sendiri. Malah kedua orangtuanya  menjadi tanggungannya. Kakak – kakaknya  pun kadang  mengiriminya uang namun itu tidak  sesering yang diharapkan. Pemuda bungsu sadar  bahwa kakak – kakaknya sudah berkeluarga tentu banyak tanggungan yang  mesti mereka perhatikan.

Itulah kakek dan nenenk  yang tetap bertahan  hidup  dalam usianya. Cinta dan sayang  yang tak pernah pudar. Kolot dan tetap menjunjung tinggi falsapah  tradisional – tidak mau merepotkan orang lain -. Falsapahnya teguh meski  dibujuk  anak pertamanya untuk ikut  tinggal  bersama.  Kakek – nenek  tetap  tidak mau. Ketidakmauannya  membawa  mereka untuk meniti kehidupan  dalam lingkungan  yang telah menuntun usianya.

Seorang lelaki  datang berbadan kurus, baju kaos oblong, dan  celana levis belel. Raut mukanya membersitkan kesengsaraan. Nenek diam kakek diam. Lelaki  memberi salam. Nenek – kakek menjawab salam. Lelaki berdiri – mendekat. Kakek – nenek diam. Lelaki itupun  bicara, “Bardi dibawa polisi, Bardi mukul orang. Dianggap pemicu pembunuhan.” Nenek – kakek diam. Hanya  alunan musik mulai muncul lagi setelah warta selesai.

01 Januari 2006    Pukul 10.32.02

Awan mulai membuka  celah mentari tuk menarik butiran – butiran hujan yang sudah terlanjur turun. Mentari mencolok tiap – tiap  bagian tanah. Gundukkan tanah  tidak hanya  di luar tapi juga  di dalam rumah. Rumah  kuno peninggalan nenekmoyang yang selalu mewariskan  kemiskinan. Tidak ada  beton ataupun tembok yang berisi  semen. Hanya  bata merah yang menjadi  pondasi  berdirinya anyaman bambu –geribig¬-. Lantai  tanah yang mulai terasa licin dan  lengket karena bercampur air hujan. Seorang ibu dengan menggendong  bayi mencoba  menidurkan  buah hatinya. Tiada  suara hanya  tetesan embun  jatuh mengenai dedaunan. Segar, cerah suasana yang dibawa alam.  Badan sang ibu  digoyang – goyangkan, mondar – mandir. Sampai sang bayi  tidak lagi  bergerak. Seorang lelaki datang dengan setengah berlari. Langsung menyerbu masuk ke dalam  menghadap  sang ibu yang menggendong bayi. Selang beberapa lama kemudian sang ibu  tersungkur  tertahan tembok anyaman bambu. Wajah lusuh, jengkel, dan haru  mencoba untuk tidak  mempercayainya. Sang  bayi pun serta – merta  menangis menjadi – jadi. Sang ibu berdiri dan berlari keluar rumah mecari anaknya yang masih bocah, “ Maman ...!”  Sang ibu  terus berlari dan berlari. Sang bayi  terus menangis. Lelaki penyampai berita pun lari di belakangnya. Terus mengikuti. Otot  kakinya  yang kecil terus  dikayuhnya berlari. Otot kaki  yang  tentu berbeda  dengan otot kaki suami sang ibu yang terus berlari.

Mentari terus bersinar. Alam meniupkan kesegaran dan awan mulai  menerbitkan sorak sorai senyum kehangatan.

01 Januari  2006  Pukul 10.32.02

Seorang ibu  duduk di belakang meja. Meja yang menyimpan  buku, kalkulator, telepon,pulpen, dan segala macam kuaitansi. Di dalam  sebuah kios  ibu itu berada. Kios dekat jalan raya dengan suasana bising kendaraan dan orang yang lalu lalang. Seorang  ibu  berkulit putih dengan rambut mulai memutih dan mata  berbentuk sipit.

Di depan kios sebuah mobil truk diparkir. Kuli – kuli memindahkan  barang – barang  dari truk ke dalam kios. Enam  orang kuli  mondar – mandir memanggul  barang di pundaknya. Satu  orang berada  di depan kios  sedang menghitung  jumlah barang yang diangkat oleh tiap – tiap kuli yang melintas  di depannya.

Telepon berbunyi. Ibu mengangkatnya, “Hallo...!”  Nada yang sedikit ketus namun lembut sama seperti mukanya.  Raut wajahnya mulai  berubah merah dan pucat. Nada suaranya  mulai bergetar. Kedua bibirnya mulai  beradu. Rumit jengkel, kesal, haru, benci, dan tidak percaya masuk dalam  lubuk hatinya. Menangis menjadi – jadi. Bising  kendaraan  masih terdengar. Para  kuli  terdiam dan mendekat.  Sumpah -  serapah  dan tangisan juga  teriakan  kian memuncak. Kendaraan lalu lalang terus membising. “Ada apa Ci?” tegur kuli. Ibu yang dipanggil Ci terus menangis.  Terbayang  jelas kepergiaan suaminya di pagi hari  menaiki mobil yang mesin dan catnya masih mengkilat. Teriakan demi teriakan mulai menggema sampai sumpah  dan caci – maki  membuat  tegang suasana. Bising kendaraan, orang lalu lalang beradu. Ci  terus berteriak histeris. Dari dalam  terdengar teriakan  girang anak kecil, “Goool ....!”       

Setiap orang pasti ada yang mencintai

Posting Komentar

Shanum Store
website agranikcell tempat top up game online murah lengkap
Shanum Store
Shanum Bike