ANTARA MASALAH DAN KEMISKINAN

Daftar Isi
ANTARA MASALAH DAN KEMISKINAN

 “ Pertanyaan  Ibu  mengingatkan  saya pada masa kecil. Ketika kecil, mungkin Ibu juga pernah merasakannya. Saya mengalami  masa – masa bermain. Ketika bermain saya sering kali lupa waktu, tidak ada waktu yang tenang  tanpa bermain. Namun, suatu  ketika Ibu saya meminta tolong  kepada saya untuk membelikan sesuatu. Saya pun bingung di saat itu antara kenikmatan saya dalam  bermain  dan suatu  tuntunan hati untuk patuh kepada  orang tua. Kenikmatan bermain  itu membentuk imajinasi  dan kreativitas diri  yang saya  butuhkan  untuk ukuran saya  pada masanya. Membantu orang tua merupakan kewajiban  yang harus setiap anak lakukan kepada orang tuanya. Akhirnya dengan segala keterpaksaan saya, saya pun  memenuhi permintaan  orang tua untuk membelikan sesuatu.”

Lelaki setengah baya dengan berbaju dinas  duduk tenang dengan tatapan mata kosong menembus waktu  terfokus di suatu titik.  Cukup lama ia terdiam sampai bibirnya sedikit mengering. Sementara  seorang ibu yang juga separuh baya  dengan ditutupi baju dinas yang teramat rapi  dengan mengenakan tanda jabatan  yang cukup membuatnya berwibawa. Riasan wajah yang di poles make up yang dibingkai dengan tatanan jilbab yang membuatnya terlihat cantik dan penuh obsesi serta feminim tentunya. Keduanya terhalang oleh meja kayu  dengan ukuran dan ukiran  yang sangat luar biasa bagusnya,  tentu harganya juga. Lelaki setengah baya itupun sedikit demi sedikit menatap  wajah perempuan setengah baya itu.  Perempuan itu pun berusaha tetap tenang  untuk menjaga segala  wibawa jabatannya. 

“ Sama dengan pertanyaan  yang Ibu sampaikan kepada Saya. Saya  dihadapkan pada kondisi yang membingungkan  antara  mengkreasikan gaya kepemimpinan saya  selaku  kepala desa dan   patuh serta megakui  terhadap  apa – apa yang Ibu sangkakan terhadap desa yang saya pimpin karena Ibu adalah seorang bupati. Saya selalu ingin mewujudkan  seluruh impian saya tentang desa  yang saya pimpin, sekaligus desa kelahiran saya. Saya selalu bermimpi bahwa desa saya tidak lagi mejadi  desa yang tertinggal. Masyarakat di sana haruslah memilik pedidikan yang tinggi, seluruh  kekayaan alam tergali dengan  baik untuk dimanfaatkan  demi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kesadaran masyarakat akan kesehatan  semakin meningkat, adat istiadat, budaya tolong – menolong, toleransi selayaknya  orang timur  tertanam dengan baik. Budaya daerah pun  terjalin dan mampu ditampilkan, sehingga tidak  ada lagi  warga desa saya  yang terjangkit  penyakit yang namanya miskin. Dan kini  harapan dan impian  itu mulai terwujud. Saya  pun mulai mewujudkan segala imajinasi  dan mimpi – mimpi itu ketika saya mengemban jabatan sebagai kepala desa sekarang ini. Segi pendidikan, sumber daya alam, semuanya saya perhatikan  dengan sangat teliti hingga akirnya tidak ada lagi  warga saya yang miskin. Apalagi saya anggap desa saya  adalah desa unggulan. Coba Ibu lihat bila dibandingkan  dengan desa tetangga saya, sangat jauh berbeda. Mana ada  di desa tetangga yang warganya pernah menjabat sebagai anggota  dewan atau pun terlibat  di dalam pemerintahan kabupaten, tapi di desa yang saya pimpin  pernah ada warga saya  yang pernah menjadi anggota dewan  bahkan Ibu tahu sendiri  dari desa saya pernah menduduki jabatan  sebagai seorang yang berpengaruh  di lingkungan pemerintahan daerah. Itukan menunjukkan tingkat pendidikan yang cukup tinggi.” Lelaki itu diam sejenak, “ Tapi Ibu adalah pimpinan saya,  terkadang saya  kurang dapat membantah  karena ketakutan saya  kalau – kalau  ini akan mengganggu  program kerja  yang pemerintah daerah tetapkan. Saya  tahu  menjadi pimpinan  di masa sekarang benar – benar sulit  kalau kita  berbuat benar  saja terkadang  disalahkan  apalagi kita  berbuat salah. Menjadi pemimpinan itu selalu  berkeinginan  program kerja  yang telah direncanakan  agar berjalan  dengan baik  sesuai dengan  yang kita targetkan.” Lelaki itu tertuduk  lalu menghela  napas panjang. 

“Namun dalam hal  ini Ibu  ingin seluruh  yang saya cita – citakan  dan seluruh  imajinasi, impian  serta bermain saya ini  dianggap sebagai sesuatu  yang sia – sia,  tiada arti,  yang Ibu istilahkan  dengan kemiskinan. Saya  membantah keras kalau  desa saya  dikatakan desa miskin.”

Seperti biasa  dengan nada  tenangnya  perempuan itu tidak  begitu saja menyerah, “Tapi dari laporan  staf – staf dan di lapangan  saya medapati  desa yang Bapak  pimpin adalah desa  tertinggal – desa miskin – barangkali  bukan hanya staf  saya yang berbicara  hal demikian tapi camat Bapak sendiri yang mengatakan hal tersebut. Malah saya  sudah memangil  camat, namun katanya Bapak  sangat bersikeras  untuk tidak  mengakui  itu,  akhirnya ya …saya sendiri memanggil Bapak,  untuk mendengarkan  sendiri  penjelasan yang sebenarnya.”

Lelaki separuh baya  itupun  pulang meninggalkan  Pendopo. Diambilnya sepeda motor  dinasnya  dan mulailah ia berjalan  pulang. Sepanjang  pulang  ia terus  berpikir  dengan  dada sedikit  kesal.  Ia  menggerutu, “ Enak  saja desa  saya  desa tertinggal – miskin -  saya sudah capek  banting tulang  mewujudkan  desa unggulan  dengan sepenuh hati, penuh rasa  cinta, kasih sayang, seluruh  waktu dan urusanku  yang tidak  begitu  penting selalu  saya nomor  duakan  bila sudah berurusan dengan masalah desa, bahkan waktu unuk keluarga sendiri sering saya tinggalkan bila sudah berkaitan dengan pembangun desa.” Sekilas  ia pun  membayangkan   betapa malunya ia kalau  di rapat  antar kepaa desa  atau pun kepala – kepala  pemerintahan  daerah  di kabupaten, lalu desa saya  di masukkan  ke dalam desa  miskin, betapa  malunya ketika dibacakan dan salah satu  dari  yang dibacakan itu tertulis  nama desa  saya sebagai desa miskin. Miskin… miskin…kin…kin. Seluruh  mata  yang hadir  itu akan  melihat kearahku, walau mereka mungkin biasa, lirikan dan tatapannya pun biasa  tapi hati  mereka  tertawa menyela dan mencibir. ‘Oh ini pimpinan warga miskin’.”

Tak terasa  akhirnya  sampai pula  lelaki itu  di desa  yang ia puja – puja, setiap  bertemu dengan  warganya yang berada  di pinggir jalan  para warga pun  menyapanya seolah  menaruh rasa hormat kepada lelaki itu, lalu ia  pun  membalasnya  tanpa rasa  segan seolah  telah akrab. Tiba – tiba motor kepala desa itu mengerem  mendadak  karena ada  seekor anak ayam lari  menyebrang jalan, hampir  tertabrak. Para warga yang melihat kejadian  itu pun  berteriak  cemas  dan setelah  itu  tertumpah senyum lega. Para warga  lain yang  mendengar teriakan  itu pun  keluar ingin mencari  tahu ada apa  sebenarnya. Kepala desa  itupun  tetap senyum dan  menyapa  dengan terus  melaju sepeda motornya.

Mungkin tidak terlalu banyak orang yang suka dengan rapat, buktinya di DPRD yang berisi orang – orang perwakilan rakyat  yang bertugas hanya untuk rapat untuk merumuskan peraturan – peraturan, memberi masukan kepada pemerintah, dll. Yang semuannya serba rapat. Padahal rapat itu enak, kita hanya tinggal duduk, mendengarkan, mendapat makanan atau snack atau mungkin pula sedikit ‘amplop’.  Ya namanya juga perwakilan  orang yang mewakili. Tapi anehnya banyak orang yang tidak  suka kalau rapat, apa karena rapat itu mejenuhkan hanya mendengarkan, berbicara, duduk dalam ruangan  begitu – begitu saja, berpikir, menulis, adu argumen atau debat kusir mungkin. Apa lagi kalau pada saat memberikan pedapat, pendapatnya dibantah atau tidak dianggap  mungkin hati terasa  nyelekit, rapat pun menjadi sangat – sangat menyiksa. Tapi, ya … saya tidak punya urusan dengan itu. Urusan saya hanya mengatakan bahwa Bupati tengah mengadakan rapat  di Pendopo Kabupaten. Rapat itu dihadiri para pejabat tinggi pemerintahan daerah, para camat, para kepala desa. Maklum era repormasi harus keterbukaan, para wartawan  pun   saling mengintip dan menguping  mengambil bagian dalam rapat  untuk berita  tapi lebih tepatnya untuk pekerjaannya ‘duit’. Para wartawan itu pun  memberitakan dengan cepat kepada masyarakat  hasil dari rapat itu. Tertulis dalam tinta hitam tebal di beberapa  surat  kabar  “Pemda Kabupaten  Bantu Desa Tertinggal”  ada juga yang menulisnya dengan judul “Kepala Desa Berlomba Menjual Desanya ” ada juga salah satu surat kabar menulis “ Bupati,  Masing – masing Desa Tertinggal Diminta untuk Mengajukan.” 

Sudah satu bulan lebih rapat itu berlalu. Di meja kerja Bupati tengah berlangsung percakapan antara Bupati dengan stafnya. Staf tersebut tengah melaporkan  program bantuan untuk desa tertinggal – miskin - . “Semua berkasnya  sudah saya simpan  di meja Bu. Ada delapan belas desa      yang telah mengajukan, lima belas desa  yang kami anggap masuk dalam kriteria seperti yang kita tentukan,  telah kami tinjau kebenarannya, dan memang benar.”

Percakapan itupun tidak  berlangsung lama namun meyakinkan  karena diwarnai serba  intruksi. Staf itu pun keluar  dari ruang kerja Ibu Bupati. Seperti layaknya  pejabat tinggi lainnya Bupati pun mengambil  pulpen  yang tertancap  di tempatnya. Satu persatu  map yang berisi  berkas  desa tertinggal  - miskin – ia periksa  dengan sangat teliti. Namun di tumpukkan map kesembilan ia berhenti  dan menatapnya  dengan heran.  Tertulis desa dan nama kepala desa  yang kemarin  tidak ingin disebut sebagai desa MISKIN.

Posting Komentar